Kilas Balik LETUSAN TAMBORA YANG MERUBAH IKLIM DUNIA
Kilas Balik LETUSAN TAMBORA YANG MERUBAH IKLIM DUNIA
Tanggal 10 April 1815, dunia mengenang letusan mahadahsyat dari Gunung Tambora. Lebih
dari 2 abad telah berlalu, dan hingga saat ini letusannya dikenal sebagai salah satu letusan
gunung berapi terbesar dalam sejarah. Tak hanya di Indonesia, dampak letusannya dirasakan
hingga ke daratan Eropa dan merubah iklim dunia dalam beberapa tahun ke depan.
Mengapa demikian ? Hal yang perlu diketahui bahwa cuaca dan iklim memiliki sifat yang
sangat dinamis. Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti kekuatan fenomenan cuaca
dan iklim, waktu kejadian, luasan kejadian baik yang terjadi di lautan maupun yang terjadi di
atmosfer. Oleh karena itu apa yang terjadi di daratan akan mempengaruhi kondisi di atmosfer
begitu pula sebaliknya apa yang terjadi di atmosfer akan berpengaruh terhadap kondisi
daratan. Hal ini pula yang terjadi pada letusan gunung berapi. Letusan kecil pun dapat
mempengaruhi cuaca dan iklim di bumi akibat material letusan yang di keluarkan oleh gunung
berapi.
MERUBAH IKLIM DUNIA
Pada tanggal 5 April 1815, Gunung Tambora meletus untuk pertama kalinya dan diikuti
dengan letusan terdahsyatnya pada tanggal 10 April 1815, dimana pada saat itu material
vulkanik yang dikeluarkan diperkirakan sekitar 160 km kubik dengan tinggi asap letusan
diperkirakan mencapai 43 km hingga masuk ke lapisan stratosfer. Ketinggian gunung tambora
sebelum meletus di perkirakan sekitar 4000 meter di atas permukaan laut dan berkurang
menjadi sekitar 2800 meter setelah aktivitas vulkanik tersebut. Material vulkanik yang
dikeluarkan gunung tambora pada saat itu luar biasa banyaknya dan mengakibatkan
penyimpangan iklim di dunia pada tahun 1816 hingga 1817.
Material akibat letusan gunung berapi yang terdiri dari awan panas, debu, aerosol dan gas
sulfur terbawa tinggi ke atmosfer hingga ke daratan Eropa. Berdasarkan penilitian Richard
Stothers (1984) abu dari letusan gunung tambora jatuh setidaknya sejauh 1300 km bahkan
menurut beberapa ahli lainnya abu tersebut mencapai wilayah eropa dan sekitarnya karena
terbawa oleh angin. Material vulkanik pada lapisan stratosfer tersebut menyebabkan
terhalangnya sinar matahari masuk ke bumi sehingga pada tahun 1816 sejarah mencatat
bahwa terdapat “tahun tanpa musim panas” di belahan bumi utara.
Lapisan stratosfer merupakan lapisan atmosfer yang sangat penting bagi bumi dan
kehidupannya, di mana lapisan ini memiliki konsentrasi ozon yang dipengaruhi oleh sinar
Matahari. Konsentrasi ozon berada pada lapisan stratosfer pada ketinggian 20 km dan
memiliki peran menyerap radiasi sinar ultra violet sehingga suhu bumi menjadi relatif stabil
dan hangat dan menjaga kehidupan bumi dari bahaya sinar ultraviolet itu sendiri. Sinar
matahari memiliki dua jenis gelombang yaitu gelombang pendek yang di keluarkan l angsung
dari Matahari dan gelombang panjang yang di pantulkan dari bumi. Gelombang pendek yang
di pancarkan oleh matahari menurut konsep dasar pengindraan jarak jauh dan pengolahan
citra (Bakosurtanal, 1995) prosentase radiasi matahari yang masuk ke bumi yaitu 3% di serap
oleh lapisan ozon, 25% di pantulkan oleh awan , 19% diserap oleh debu dan gas, 45% di serap
oleh bumi dan 8% di pantulkan kembali dari permukaan bumi ke atmosfer yang di sebut
dengan gelombang panjang. Hampir setengah dari radiasi matahari yang datang di gunakan
untuk menghangatkan bumi ketika kondisi atmosfer tidak mengalami gangguan atau dalam
keadaan normal.
Dapat dibayangkan berapa energi dari radiasi matahari yang hilang untuk memanaskan bumi
ketika langit tertutup oleh material letusan tambora selama satu hingga dua pekan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Richard Stothers (1984) terhadap suhu udara
akibat ganguan yang berada di atmosfer paska letusan tambora memberikan informasi bahwa
terjadi penurunan suhu udara dunia sebesar 0.4?C – 0.7?C dari normalnya. Hal ini
menyebabkan banyak masalah khususnya dari segi pertanian dan berpengaruh pada
meningkatnya angka kematian akibat kelaparan. Gillen D’Arc Wood dalam bukunya “Tambora
: Letusan Raksasa dari Indonesia 1815” juga menjelaskan hasil panen di Eropa Barat menurun
hingga lebih dari 75%. Selain itu kecaman suhu dingin di wilayah eropa juga terjadi, dimana
dari beberapa jurnal menerangkan adanya perubahan temperatur selama musim panas tahun
1816 hingga 1818 sebesar -0.29?C hingga -0.51?C. Beberapa kejadian badai salju juga tercatat
bahkan pada saat musim panas tahun 1816 dengan ketebalan salju setinggi 30 cm. Selain
dikenal dengan “tahun tanpa musim panas”, akibat dari meletusnya gunung tambora juga di
kenal dengan “tahun tanpa munson (monsoon)”. Hal ini terjadi pada tahun 1817, di wilayah
Benggala India dilanda fenomena El Nino dan menyebabkan adanya wabah penyakit kolera
dan menyebar hingga ke Myanmar, Thailand, Filipina, Jepang, dan Cina bahkan hingga Persia.
Kesedihan yang melanda dari dampak negatif ditimbulkan letusan gunung tambora seperti
penyimpangan iklim dan kematian tertutupi oleh hal lain yang memberi nilai postif pada
wilayah ini. Tambora menjadi kaya akan ekosistem dan memiliki lahan pertanian yang subur.
Bahkan kawasan gunung tambora menjadi bagian kawasan strategis di provinsi Nusa
Tenggara Barat, dimana pada setiap bulan April pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat
mengadakan festival untuk memperingati meletusnya gunung Tambora seperti pada tahun
ini diadakan festival “Tambora Menyapa Dunia 2018”. Gaungan akan informasi mitigasi
bencana terutama mitigasi terhadap gunung berapi menjadi salah satu fokus utama dalam
festival ini mengingat wilayah Indonesia yang masuk dalam kawasan “Ring of Fire” atau Cincin
Api pasifik.
Source : Afriyas Ulfah - Prakirawan Iklim BMKG